Arus Mahakam – Keputusan mengejutkan di lakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah mencabut limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Penghapusan ini dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja. Berdasarkan lampiran 14 Peraturan Pemerintah (PP) 22/2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).
Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya. Yakni, abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.
“Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batu bara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3,” ujar Fajri Fadhillah
Dalam keterangan persnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mengungkapkan, pemerintah punya alasan kuat. “Ada saintifiknya. Jadi, semua berdasarkan scientific based knowledge,” kata dia. Lanjut dia, pembakaran batu bara pada PLTU sudah menggunakan pulverize coal atau pembakaran batu bara menggunakan temperatur tinggi.
Kesehatan Masyarakat Terancam
Sementara itu, banyaknya limbah abu batu bara yang dihasilkan tidak seiring dengan cara penanganannya. Sebagian besar masih terbatas melalui penimbunan lahan (landfill). Jika tidak dimanfaatkan dan tidak ditangani dengan baik, maka dapat berpotensi menimbulkan pencemaran.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) Merah Johansyah menyebutkan, di Kaltim kasus FABA pernah terjadi di area tambang milik PT Indominco Mandiri. Pada Desember 2017, Pengadilan Negeri Tenggarong menjatuhkan hukuman terhadap PT Indominco Mandiri. Yakni, pidana denda Rp 2 miliar karena terbukti bersalah melakukan pembuangan (dumping) limbah tanpa izin.
Merah menyebutkan bahwa perusahaan ini sudah divonis bersalah karena pengelolaan buruk FABA. Ternyata di lapangan tidak terjadi pemulihan. Nilai denda pun sangat kecil dan tidak membuat jera.
“Begitu juga warga di dekat PLTU Mpanau, Sulawesi Tengah. Warga yang sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta untuk membuktikan sendiri keterkaitan penyakit yang diderita dengan dampak FABA operasi PLTU. Jadi, perlindungan warga dari limbah FABA itu omong kosong. Apalagi sekarang ketika FABA bukan lagi beracun dan berbahaya. Dari kasus itu, kebijakan ini akan membuat pebisnis batu bara semakin ugal-ugalan membuang limbah dan terbebas dari hukum,” kata Merah Johansyah yang sebelumnya merupakan Dinamisator Jatam Kaltim itu.
Disisi lain saat ini Bumi Etam memiliki 6 PLTU yaitu PLTU Tanah Paser, PLTU Kariangau, PLTU Kaltim (FTP2) Bontang, PLTU Muara Jawa, PLTU Teluk Bayur Berau, dan PLTU Embalut. Tahun depan juga akan ada penambahan dua lagi PLTU di Kaltim.
Dinamisator JATAM Kaltim, Pradarma Rupang menjelaskan, nantinya masyarakat pesisir yang paling akan terdampak peraturan baru ini.Sselama ini PLTU berlokasi antara pesisir laut dan sungai. Ada dua dampak besar dengan dihapuskannya FABA dari daftar limbah B3, pertama terjadinya kerusakan lingkungan dan kedua berdampak pada kesehatan masyarakat.
“FABA ini tidak boleh bersentuhan dengan tanah, apalagi terpapar hujan. Karena saat sudah larut di air dan akhirnya masuk ke dalam sungai, limbah ini tentu akan dikonsumsi ikan-ikan. Ikan yang terkontaminasi ini lah kemudian yang diperjualbelikan oleh nelayan untuk dikonsumsi masyarakat. Ini lah kemudian yang akan mengancam kesehatan masyarakat nantinya,” pungkas Rupang. (bn*/red)